KURIKULUM BAHASA INDONESIA: PROBLEMATIKA DI LAPANGAN

Bambang Yulianto, FBS Universitas Negeri Surabaya, Indonesia

Abstract


Those putting KBK/KTSP (short for Kurikulum Berdasar Kompetensi/
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan or the Competency-Based Curriculum/the
Curriculum at the Level of Educational Unit) of Bahasa Indonesia into practice
still encounter an abundance of problems in the field. The problems involve its
implementation in relation to the teachers, the students, and the supporting
facilities. The implementation has indicated (a) the teachers' lack of understanding
of the curriculum of Bahasa Indonesia in both the addition of basic competencies
and the concepts of learning concerning linguistic aspects; (b) the teachers'
apathetic attitude towards the curriculum because of their desire for uniformity
and the increasingly heavier load of their duties; and (c) the teachers' lack of
knowledge of efforts for maximum development of the curriculum such as
practicing authentic assessment, selecting suitable lesson books, and running
remedial and enrichment programs. As an impact of the implementation on the
students, a sufficiently large number of students feel burdened with KBK because
they already have many assignments in both their regular and remedial classes. As
an impact of the implementation on the support facilities, it has brought to light
that regional schools lack the facilities that could meet the demands of the
curriculum.
Keywords: KBK/KTSP, teachers' attitude, impacts, problems
A. PENDAHULUAN mendorong pemikiran diperlukannya otonomi
Salah satu implikasi diberlakukannya pendidikan.
otonomi daerah adalah otonomi pendidikan. Di Dalam otonomi pendidikan terbuka
samping karena adanya fakta hasil pendidikan peluang untuk menciptakan pendidikan di
yang tidak merata di setiap daerah, seringkali daerah menjadi lebih berkualitas karena pejabat
kebutuhan dan permasalahan pendidikan daerah memiliki wewenang yang luas untuk
daerah yang berbeda-beda selalu diatasi dengan melakukan antisipasi dalam rangka meningkatcara
yang sama, seragam. Apalagi, kebijakan kan kualitas pendidikan di daerahnya
pusat seringkali tidak sesuai dengan kondisi di (Mudjiharto, 2000; Suyanto, 2001). Kegiatan
lapangan selain juga datangnya sering terlalu rekrutmen untuk kepala sekolah, guru, dan
terlambat sampai di tingkat bawah (daerah). siswa; pembinaan profesionalisme guru;
Dalam hal yang demikian potensi akademis penentuan sistem evaluasi; dan sebagainya
yang ada di daerah tidak bisa dimanfaatkan ditentukan oleh daerah (pemerintah provinsi,
secara maksimal (Suryadi, 2001). Akibatnya, sekolah, dan masyarakat) (lihat Stinnett, 1968;
kondisi tersebut tidak mampu memacu Dorros, 1978). Dengan demikian, kualitas
persaingan yang sehat untuk meningkatkan hasilnya sangat ditentukan oleh kemampuan
kualitas pendidikan, kecuali untuk memenuhi dan kemauan daerah (Kompas, 2001).
target kebijakan. Kenyataan inilah yang ikut
26


Full Text:

PDF


DOI: https://doi.org/10.21831/diksi.v14i1.6545

Refbacks

  • There are currently no refbacks.


Copyright (c) 1970 DIKSI



 

Jurnal Diksi is published by Faculty of Languages, Arts, and Culture, Universitas Negeri Yogyakarta. It is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License. Based on a work at http://journal.uny.ac.id/index.php/diksi

 

Our Journal has been Indexed by:

  

  

   

Diksi Journal is published by the Faculty of Languages, Arts, and Culture Universitas Negeri Yogyakarta in collaboration with Himpunan Sarjana Kesusasteraan Indonesia (HISKI)

Supervised by:


 
Translator
 
View My Stats